
Childfree dan Peran Publik Agama: Refleksi Hari Ibu
[Page 2]
Menurut hemat penulis, memilih untuk tidak memiliki keturunan atas nama kebebasan dan keadilan gender bukanlah pilihan yang bijak sebab dalam konteks kesetaraan gender, keputusan untuk tidak memiliki anak yang bukan didasarkan pada diagnosa medis (alamiah tidak bisa melahirkan keturunan), tetapi murni alasan pribadi, justru membawa implikasi sosial yang jauh lebih besar. Bahkan melahirkan masalah sosial baru.
Childfree atau memilih untuk tidak memiliki anak untuk hadir di keluarga tentu suatu keputusan individu yang harus dihormati, tetapi mesti dipahami bahwa bukan tidak mungkin jika pilihan ini tidak akan membawa sisi negatif tersendiri, misal pengaruhnya nanti terhadap kondisi suatu negara di masa depan bila semakin banyak penduduk yang memilih untuk tidak ingin mempunyai seorang anak.
Implikasi sosial yang amat nyata ialah ketersediaan usia produktif di masa depan. Hal ini tentu saja berdampak terhadap masalah ketenagakerjaan dan masalah sosial lainnya. Di beberapa negara banyak orang tua yang kehidupannya bergantung pada negara karena tidak ada anak atau keluarga yang mengasuh. Sehingga beban negara akan semakin besar untuk membiayai penduduk usia tua karena jumlah penduduk usia produktif semakin sedikit dibandingkan dengan yang tidak produktif (Pratama, 2021). Itulah mengapa saat ini negara-negara di Eropa justru sedang gencar menaikkan angka kelahiran di negaranya. Dilansir dari BBC, sebut saja negara seperti Finlandia, Estonia dan Perancis justru memberikan tunjangan yang besar agar warganya mau memiliki anak.
Peran Publik Agama
Melihat fenomena childfree dari sudut pandang agama, tentu saja bertentangan dengan nilai ajaran agama mengingat kondisi ini amatlah tidak sejalan dengan fitrah manusia. Sebagaimana diketahui, ajaran setiap agama menganjurkan para penganutnya untuk melangsungkan pernikahan demi memenuhi kebutuhan biologisnya dan demi menjamin keberlangsungan generasi berikutnya. Pada segi lain, childfree merupakan suatu indikasi makin rapuhnya jiwa dan norma agama pada sebagian masyarakat kontemporer.
Kristin Park dalam uraian artikelnya “Choosing Childlessness: Weber’s Typology of Action and Motives of the Voluntarily Childless” menyebutkan bahwa mereka yang mendukung gagasan childfree memang cenderung kurang religius, sehingga tidak mengikuti aturan peran gender umum yang konvensional (Kristin, 2005). Dengan kata lain, ada semacam pengabaian nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata yang mengakibatkan gagasan childfree kian digandrungi.
Maka sebagai bangsa yang beragama, gagasan childfree ini tentu saja perlu disentuh dengan pendekatan agama. Mengapa peran agama perlu diperhitungkan kembali di ranah ini? Sebab, agama tetap merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan masyarakat yang vital. Agama memiliki muatan nilai dalam memengaruhi tindakan sosial individu. Agama, dalam konteks ini, masih menjadi salah satu sumber moral dan tata nilai untuk melahirkan keturunan. Ajaran Islam misalnya, banyak anjuran untuk memperbanyak keturunan. Memiliki keturunan adalah kemuliaan karena ada pahala besar di balik pengasuhannya, bahkan diantara yang menjadi tujuan utama pernikahan ialah untuk melahirkan keturunan yang diharapkan dapat menjadi pahala jariyah orang tua meski ia telah tiada.
Inilah yang perlu ditanamkan pada masyarakat luas, di tengah semakin meningkatnya upaya kesetaraan gender. Childfree sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang kadang kala dialami kaum perempuan, bisa dipahami jika upaya ini merupakan bentuk dukungan terhadap kesetaraan peluang bagi perempuan terutama kesuksesan kariernya. Namun, tatkala ia mengabaikan nilai kemanusiaan, norma masyarakat termasuk kewajiban formalistis atas agama, maka ini justru berbahaya baik bagi dirinya sendiri, masyarakat dan bangsanya.
Menarik untuk menyimak pernyataan Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), bahwa peringatan hari ibu jauh lebih luas dari pada sekadar mengucapkan terima kasih, melainkan peringatan hari Ibu, sesungguhnya merupakan suatu bentuk apresiasi bagi semua perempuan Indonesia, atas peran, dedikasi, serta kontribusinya bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Peringatan ini adalah yang ke-93 di mana satu di antara lima agenda pemberdayaan perempuan hingga tahun 2024 mendatang yang diketengahkan pemerintah, ialah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak.
Dengan demikian, pada tahap inilah peran agama perlu direfleksikan sebagai counter hegemoni terhadap gagasan childfree. Melalui momentum hari ibu, peran publik agama perlu senantiasa digaungkan dengan prinsip-prinsip keadilan yang berorientasi pada perempuan (Ibu). Di sini, keyakinan-keyakinan religius tidak hanya diarahkan untuk menjaga generasi peradaban, tetapi juga membangkitkan sentimen-sentimen religius untuk merawat hak-hak sosial kaum perempuan tanpa harus mengorbankan nature seorang ibu.
#Selamat hari Ibu!