
Covid-19 Ancaman Ekonomi : Menakar Arah Social Distancing dan Refleksitas Social Action
[page 2]
Atas langkah itu, perbedaan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar, keduanya merupakan bagian dari opsi-opsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Penjelasan dalam undang-undang diterangkan bahwa pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu oleh penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan /atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Sedangkan karantina wilayah adalah pembatasan yang dilakukan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Jadi UU Nomor 6 Tahun 2018, yaitu pembatasan sosial berskala besar, terus ditambah maklumat Polri.
Kalau orang melakukan kerumunan, itu bisa dibubarkan. Melalui regulasi ini, maka seluruh pemerintah daerah memiliki aturan baku dalam membuat keputusan sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah pusat.
Nah, sekarang akan diulas bagaimana dampak pembatasan sosial dalam kaitannya dengan siklus ekonomi. Hal ini tentunya akan diproteksi sebagai sebuah ancaman ekonomi sekaligus menjadi refleksitas tindakan sosial.
“Konsentrasi penuh terhadap pembatasan sosial (social distancing) adalah untuk mengurangi penyebaran atau memutuskan penyebaran virus corona baik untuk rumah tangga maupun dunia usaha.”
Dalam upaya pembatasan sosial maka sejumlah program ekonomi pemerintah telah memastikan jaring pengaman ekonomi selama pandemik virus corona. Upaya itu difokuskan untuk pekerja informal dan pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sejumlah program ekonomi itu antara lain, menambah penerima Program Keluarga Harapan dari Kementrian Sosial dari 9,2 juta menjadi 10 juta orang serta bantuan untuk PKH akan naik 25%. Kartu sembako, jumlah penerimanya juga dinaikkan dari 15,2 juta menjadi 20 juta orang. Nilainya naik 30%, dari 150 menjadi 200 ribu selama sembilan bulan ke depan. Kartu pekerja, anggarannya akan dinaikkan dari 10 Triliun menjadi 20 Triliun. Jumlah penerima manfaatnya menjadi 5,6 juta orang, terutama pekerja informal serta pelaku UMKM yang terdampak.
Upaya tersebut tak selalu berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat pada cara pencegahan penyebaran COVID-19 yang salah satunya dengan membatasi interaksi sosial, bekerja di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini.
Sebab hal ini akan berdampak bagi masyarakat di sektor nonformal yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian. Seperti yang saya amati pada usaha-usaha kecil di berbagai tempat seperti warung makan yang berjualan di sekolah, warung kopi yang berdagang di kantin-kantin kampus pada perguruan tinggi, keuntungan atau pendapatan jenis usaha ini otomatis tidak ada pemasukan karena lembaga pendidikan formal untuk sementara ditutup.
Padahal di sisi lain mereka harus mencukupi kebutuhan dasar makan dan minum untuk keluarganya. Para tukang ojek, jasa penyewaan tenda pengantin, dan hiburan pesta pernikahan (larangan kerumunan), wisata malam kuliner ditutup serta pedagang keliling semuanya nyaris tak ada pemasukan.
Tentu ini akan berdampak kelangsungan hidup mereka atas berbagai keperluan sandang dan pangan serta pemerataan pendapatan keluarga.
Arah dari pembatasan sosial ini mengacu pada keterbatasan interaksi manusia yang berdampak pada framing positif dan negatif. Framing positifnya untuk mencegah penyebaran atau memutuskan rantai penyebaran virus corona. Sebaliknya akan berdampak pada keterbatasan laju usaha sektor nonformal.
Maka untuk memastikan agar upaya pembatasan sosial ini berjalan sesuai rencana, maka harus disandingkan dengan upaya tindakan sosial oleh masyarakat. Dampak pembatasan sosial ini khususnya pada usaha sektor nonformal secara sosiologi ekonomi akan menjadi ancaman tidak berkembangnya dan bahkan melumpuhkan usaha kewiraswastaan masyarakat serta tidak seiring dengan sektor formal. Padahal kedua sektor ini beriringan.
Berbagai penelitian dalam bidang ekonomi menunjukkan bahwa antara sektor formal dan nonformal saling ketergantungan. Ketertinggalan dan ketidakberdayaan sektor informal merupakan syarat bagi kemajuan sektor formal artinya hubungan antara kedua sektor ini menunjukkan sub ordinasi dan ketergantungan yang pertama kepada yang kedua.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah bentuk dari tindakan sosial sebagai kunci untuk memahami realitas sosial. Sebagai warga masyarakat, Indonesia tentunya harus terbuka dan mendukung upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menangani situasi saat ini. Berbagai bentuk tindakan sosial bagi masyarakat dengan situasi saat ini adalah dengan melakukan tindakan rasional yaitu sebuah tindakan yang dilakukan dengan pertimbangan untuk mencapai tujuan yang sudah dipikirkan oleh pemerintah.
Tindakan berorientasi nilai yaitu dengan pertimbangan nilai artinya setiap individu dalam kelompok masyarakat bertindak mengutamakan apa yang dianggap baik, lumrah atau benar dalam masyarakat, dan terakhir adalah tindakan tradisional yaitu sebuah tindakan yang mengutamakan tradisi, adat atau kebiasaan masayarakat sebagai pertimbangannya. (*)