
Idul Fitri: Memantik Pendidikan Holistik di Tengah Pandemi Covid-19
oleh: Abdul Halik, Dosen IAIN Parepare
OPINI — Waktu adalah persepsi psikologi yang di dalamnya ada peristiwa, tempat, dan kondisi (kata orang bijak). Begitu cepat pergi dan berlalu Ramadhan, ditutup dengan ‘serimoni’ perpisahan, shalat ‘Idul Fitri. Gegap gempita perayaan kemenangan bagi umat Islam atas capaian dalam universitas Ramadhan. Kerinduan dan kenangan mendalam yang dititipkan Ramadhan, menggugah penantian panjang dalam pendakian maqam spiritual. Kini berlalu dan tidak kembali lagi, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.” (QS. Al-Mu’minun: 114).
Jiwa seperti cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya. Keindahan kita tidak terasa, karena kita berada di bawah debu (Rumi). Kami hadir dalam ‘denyut nadi’ silaturahmi, mengharap iba pintu maaf dibuka, minal aidzin wal faidzin. Semoga ke-fitrah-an kita menjadi mahkota dalam jubah kemenangan pada momentul Idul Fitri di tengah Pandemi Covid-19.
Gema Idul Fitri
Sebulan penuh menjalankan ibadah puasa dengan penuh khidmat, khusuk, dan jihad. Meskipun nuansa dan suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan sebelumnya, tetapi dedikasi dan motivasi ibadah justru lebih menggeliat. Gema Ramadhan kali ini lebih ‘menonjol’ pada ranah sosial dan virtual, karena dalam kepungan Pandemi Covid-19, himpitan ekonomi menjerat sebagian besar masyarakat, mendorong bagi dermawan menyumbangkan hartanya kepada kaum dhuafa dan terkena dampak Pandemi Covid-19.
Semarak gerakan kemanusiaan menghiasi jagad maya, melalui penggalangan dan penyaluran bantuan kemanusiaan, dan para Satgas Covid-19 di berbagai level ikut mengatur dan melayani ketertiban sosial pada penerapan PSBB, dan teristimewa pahlawan kemanusiaan, Dokter dan Paramedis, garda terdepan ‘berperang’ menghadapi Pandemi Covid-19.
Syiar dakwah di bulan Ramadhan tahun ini tak kalah semaraknya dengan tahun sebelumnya. Syiar Islam melalui dunia maya, dakwah virtual cukup intens menghiasi dalam sosial media, media cetak, media elektronik, dan teleconference. Menghadirkan pembicara hebat dan mumpuni dalam syiar Islam, sangat membantu dalam menghadirkan Islam sebagai agama transpormatif dan solutif. Umat Islam sudah akrab berinteraksi secara virtual oleh para cendekiawan muslim, baik nasional maupun internasional, yang selama ini cukup ‘birokratis’ untuk berinteraksi.
Syiar virtual memiliki kelebihan dalam gema dakwah Ramadhan, karena di samping monologis juga bersifat dialogis (Nurhidayat, sudutpandang.com, 6 Mei 2020). Namun, syiar virtual terbatas aksesibilitasnya, hanya ditujukan bagi orang ‘pilihan’, yakni kalangan yang berlebih quota internet, terakses signal, dan yang melek teknologi. Syiar virtual dinilai menjadi trend dakwah Islam di masa depan pasca Ccovid-19.
Kondisi stay at home di masa pandemi, umat Islam menjalankan ibadah dan ritual Ramadhan di rumah bersama keluarga. Pemimpin keluarga mengambil alih tanggungjawab ibadah berjamaah yang sebelumnya dilakukan di Masjid. Hadis Nabi Saw. … كلكم راء وكل راء مسئول عن رعيته, Seorang pemimpin keluarga, harus berani tampil menjadi imam, menjadi panutan dan teladan, disiplin, dan menguasai kaifiyat ibadah berdasarkan doktrin Islam. Hikmah pandemi di bulan Ramadhan, memperkokoh kepemimpinan kepala keluarga dengan kepedulian tinggi atas komitmen terhadap pesan Allah, dalam Q.S. At-Tahrim: 6; …يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا, Sebuah kewajiban normatif kepala keluarga agar selalu jaga diri dan anggota keluarganya dari perihal yang menjerumuskan ke dalam ‘kubangan’ kenistaan.
Peneguhan akidah, penguatan ilmu, kesadaran ibadah, dan kemuliaan akhlak, menjadi syiar Islam utama dalam mengokohkan konstruk rumah tangga Islami (Amri & Tulab, Ulul Albab, 2018). Pandemic Covid-19 di bulan Ramadhan memperkuat visi kesalehan personal sebagai syarat keteguhan kesalehan sosial, dalam Q.S. Az-Zzariyat: 56; وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ Eksistensi personal menjadi fondamen pancaran cahaya ke-Ilahi-an dalam meredupkan ‘kebisingan’ mudharat di lingkungan keluarga. Ikhtiar dan jihad personal sebagai manifestasi keteguhan spiritualitas dalam mengemban misi rahmatan lil ‘alamin.
Pelaksanaan shalat Idul Fitri yang sebagian besar umat Islam dilaksanakan di rumah memberikan nuansa dan suasana tersendiri. Gema takbir tidak lagi berkumandang di jalanan, tetapi mengisi relung dan menghiasi ruang serta merebak keluar melalui ventilasi rumah. Silaturahmi dan ziarah solidaritas antar sesama dilakukan melalui kanal-kanal media sosial. Kuliner dan makanan khas lebaran, tetap disajikan menambah pernak-pernik kemeriahan perayaan Idul Fitri. Semangat sosial umat Islam merayakan Idul Fitri sangat tinggi, tiada yang bisa meredamnya, kecuali pandemi Covid-19. Meskipun kontraversi, Covid-19 menjadi pendulung perdebatan terutama di media sosial, antara kepatuhan kepada umara’ dan keteguhan iman kepada Allah.
Gejolak tersebut dinilai manusiawi, boleh jadi kejenuhan stay at home, masjid ditutup, terancam kebulan asap dapur, semangat Idul Fitri yang hanya sekali dalam setahun, terbukanya pusat perbelanjaan, dan seterusnya. Semua itu refleksi dari gelora iman yang ‘membara’ dalam jiwa umat Islam untuk merayakan Idul Fitri, yang sebelumnya menggema di seantero dunia. Hidup boleh berubah, Covid-19 bisa memaksa social distancing, tapi ‘Api’ Islam terutama gema Idul Fitri tidak akan pernah padam dalam sadr (dada) umat Islam.
Pesan Idul Fitri di balik Pandemi Covid-19
Bumi mengalami recovery (restart button)karena pandemic Covid-19. Menurut laporan ilmuwan, dampak bagi bumi, di antaranya adalah: (1) Kualitas udara semakin baik karena menurunnya tingkat global Nitrogen Dioksida (NO2), yakni gas yang dihasilkan dari mesin mobil dan pabrik manufaktur komersil; (2) emisi berkurang yakni Carbon Dioksida (CO2) menurun drastis; (3) Satwa liar semakin berkembang oleh berkurangnya hilir mudik manusia; (4) Air menjadi jernih juga sangat baik bagi kesehatan (suara.com, 22 Mei 2020).
Selanjutnya, lapisan Ozon menjadi membaik karena… [next page 2]