Idul Fitri: Memantik Pendidikan Holistik di Tengah Pandemi Covid-19

Idul Fitri: Memantik Pendidikan Holistik di Tengah Pandemi Covid-19

[page 2]

Selanjutnya, lapisan Ozon menjadi membaik karena berhentinya aktivitas emisi besar karena lockdown, seperti pabrik, mesin, pesawat, kapal laut, dan seterusnya (Kompas.com, 22 April 2020). Dalam konteks Geologi, bumi dinilai ikut serta merayakan ‘Idul Fitri’, karena kembali ke arah normal dan equilibrium dalam ekosistemnya. Bumi memulai dari stabilitas ekologi sehingga lebih nyaman dan aman dihuni oleh umat manusia.

Alam memberi pelajaran berharga pada siklus metamorphosis binatang, seperti Kupu-kupu. Kupu-kupu berasal dari ulat yang mengalami metamorphosis sempurna atau tahap berbeda sebelum jadi dewasa. Umur kupu-kupu berkisar antara 3-4 minggu. Prosesnya adalah: (1) telur menempel pada daun inang lamanya 2-7 hari, (2) ulat (larva) berumur 14-20 hari dengan berganti kulit 4-5 kali, pada umur itu mengkonsumsi daun setara luasan 20 x 30 cm. (3) kepompong (chrysalis/pupa) berpuasa dan beristirahat selama 14-16 hari, butuh waktu 1-2 jam untuk mengeringan sayap sebelum siang terbang untuk pertama kalinya. (4) kupu-kupu dewasa (imago) berumur 14-24 hari, dimana sekitar 7% hidup imago digunakan untuk kopulasi (Kompasiana.com, 18 Juni 2018). Kupu-kupu berawal dari ulat yang menyeramkan, menjijikkan, gatal jika disentuh, membuat mati tanaman. Melalui metamorphosis, ulat berubah jadi binatang yang indah dipandang, dan memesona motif dan cantik kibaran sayapnya. Ulat seakan mengikuti proses Ramadhan dan melahirkan bentuk baru yang indah dan mengesankan, sebuah ekspektasi dalam perayaan Idul Fitri.

Dua analogi di atas menunjukkan keistimewaan Ramadhan dalam menebar pendidikan spiritualisme humanis kehidupan. Bumi yang begitu rusak oleh ‘kepongahan’ manusia, kembali ke ‘Fitrah’ atas peringatan Allah melalui Covid-19. Ulat yang begitu seram berubah jadi makhluk indah dan memanjakan pandangan, atas ‘petualangan’ hidup menuju ‘fitrah’. Hidup adalah misteri dalam dimensi insaniyah, jika tidak memantik nalar logis dan iman untuk menyelaminya. Alam begitu ‘paham’ dan patuh pada dimensi ke-ilahi-an dalam mencerdaskan ekologi untuk harmonisasi kehidupan. Idul Fitri dalam dimensi ekologi menularkan pola hidup sehat, stabil, teratur, dan seimbang.

Udara yang sehat, air mengalir yang jernih, sinar matahari yang kurang menyengat, bumi bermeditasi, burung berkicau, satwa yang riang, tanaman dan bunga bermekar, sungguh indah padanan ekologi dalam nuansa Idul Fitri di tengah pandemic Covid-19. Alam semesta sebagai sunnatullah menitahkan nalar untuk belajar dari sirkulasi hidup, pergantian siang dan malam, agar kearifan macrocosmos dapat dipetik hikmahnya.

Umat Islam yang menjalankan ibadah puasa disertai ritual pendukungnya, memancarkan berkahnya ‘Idul Fitri, sebuah transformasi hidup menuju era baru (new era)yang bersih nan suci, bagaikan bayi kecil yang baru dilahirkan. Sungguh! dalam diri manusia ada potensi ‘laten’ yang harus dirawat dan dijaga, jika dibiarkan daya rusaknya sangat tinggi, yakni hawa nafsu. Nabi Saw. Sudah mewanti-wanti agar dapat menjaga, mengontrol, dan mengendalikan hawa nafsu, untuk menjaga stabilitas diri dalam meraup investasi besar di bulan Ramadhan. Realisasi capaian Idul Fitri, dibangun atas dasar ketulusan, pengorbanan, komitmen, ikhtiar, dan jihad untuk ridha-Nya (مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ). Sikap istiqamah umat Islam menjadi suatu ujian sistemik agar tetap waspada dan mawas diri dari berbagai jebakan dan godaan. Idul Fitri sebagai teologi pembebasan dari perbudakan dan berhala profan.

Pendidikan Holistik ‘Idul Fitri dan Pandemi Covid-19.

Holistik sebagai suatu hal yang menyeluruh, bukan parsial. Pengertian ini sejalan dengan esensi pendidikan yang melihat sesuatu sebagai suatu universal. Pendidikan holistik bermakna perubahan individu secara keseluruhan ke arah positif melalui intervensi pendidikan. Melalui pendidikan holistik, peserta didik didorong untuk menemukan jati dirinya (learning to be), dengan menunjukkan kemampuan dirinya (self actualization), melakukan eksplorasi sendiri, dalam suasana independensi, dan bersikap inklusif untuk kemajuan (Lihat Amie Primarni, 2014). Perubahan individu diawali oleh sebuah kesadaran intelektual, emosional, spiritual, adversity, dan vokasional dalam menemukan kebermaknaan hidup (Halik, 2020).

Allah memberi code bahwa seluruh ciptaan-Nya terdapat hikmah yang dapat membuka tabir makrifah-Nya. Tidak ada dalam hidup yang diciptakan dengan sia-sia (رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا……) menjelaskan pendidikan holistik membuka mata memandang khazanah keilmuan sebagai tanda dan isyarat kebesaran Allah Swt. Jika potensi fitrah yang dimiliki manusia tidak dioptimalkan untuk memahami dan menjadikannya bersyukur, akan menjadikannya terperosok masuk dalam jurang kenistaan (…سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ). Diskursus tersebut, menegaskan pendidikan holistik mencitrakan khazanah akan pesan nuansa Idul Fitri dalam suasana Pandemi Covid-19.

Nuansa Idul Fitri berbeda dengan sebelumnya, sebuah realitas obyektif bahwa hidup mengalami transformasi yang tak terdeteksi dan terkendali. Idul Fitri sebagai ‘metabolisme’ Ramadhan, sebagai indikator kualitas olahan ‘nutrisi’ iman yang merefleksikan dalam bentuk kecerdasan. Kecerdasan yang dilahirkan dalam universitas Ramadhan, menjadikan pecinta ritual puasa dalam golongan cendekiawan (أُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰب). Cendekiawan ini berindikasikan kepada holistika fitrahnya untuk memahami dan menghayati code ciptaan dan eksistensi diri-Nya (ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ). Pesan Idul Fitri mengembangkan kapasiti pikir dan dzikir secara seimbang dan dialog secara berkelanjutan sehingga dapat bersikap arif dan bijak secara dialektis dan dinamis dalam merespon kehidupan, termasuk Pandemi Covid-19. Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh (A. Einstein).

Ramadhan telah menebarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan, walau dalam kondisi pandemi Covid-19. Nuansa Idul Fitri dan suasana pandemi Covid-19 ibarat sebuah literasi holistik dengan referensi yang beragam dan mendalam, menjadi pelajaran berharga buat umat Islam. Jika dianalogikan sebagai sebuah buku, maka tujuan sebuah buku mungkin sebagai petunjuk. Namun kau dapat juga menggunakannya sebagai bantal; Kendati sasarannya adalah memberi pengetahuan, petunjuk, dan keuntungan (Rumi).

Idul Fitri menerangi jiwa agar lebih hidup dan dinamis, peka terhadap signal ke-Ilahi-an sehingga selalu terjaga untuk membaca pesan-pesan transendental. Pandemi Covid-19 memaksa nalar dan sains untuk mengaji lebih intens, menata ekosistem, menertibkan social order, menjaga equilibrium, restorasi paradigm, dan rekonstruksi tauhid. Nuansa ‘Idul Fitri memberi kesan penguatan dimensi dzikir (vertical), dan suasana Pandemi Covid-19 membuka nalar pada dimensi piker (horizontal). Integrasi dzikir dan pikir sebagai pilar prototype Ulil Albab, sebagai ekspektasi generasi cendekia dengan predikat Summa Cumlaude dari Universitas Ramadhan. Pendidikan holistik yang lahir dari ‘rahim’ Idul Fitri di tengah Pandemi Covid-19, berimplikasi pada terwujudnya generasi Ulil Albab, pewaris Nabi, pemegang tonggak komando demi tegaknya baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu ‘A’lam bi Ash-Shawab.

تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَمَنَا وَ صِيَمَكُمْ كُلُّ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ

تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَمَنَا وَ صِيَمَكُمْ وَجْعَلْنَا مِنَ الْعَائِدِين وَالْفَائِزِين

Pages: 1 2

Berawal dari Belajar, Berakhir dengan Amal (@hayanaaa)

Leave a Reply

Your email address will not be published.