
IWD: #BreakTheBias sebagai Tolok Ukur Keberhasilan Perempuan
Penulis: Hasniati (Mahasiswi Prodi Hukum Ekonomi Syariah)
juga sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan DEMA-I IAIN Parepare
OPINI–International Women Day (IWD) diperingati setiap tanggal 8 Maret. Hari di mana para perempuan di dunia merayakan prestasinya, meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan, menyerukan kesetaraan akan pentingnya peran seorang perempuan untuk ikut andil membangun peradaban dunia dan galang dana untuk badan amal yang berfokus pada pemberdayaan perempuan.
Hari Perempuan Internasional merupakan waktu untuk merenungkan kemajuan, menyerukan perubahan, dan merayakan tindakan keberanian tekad untuk memainkan peran luar biasa dalam sejarah kehidupan. Namun, saat ini masih banyak perempuan yang belum mendapatkan haknya dalam bidang edukasi dan keamanan. Mereka masih terikat oleh tradisi yang mendiskriminasi, kekerasan, bahkan pelecehan seksual.
Sejarah mencatat, hari Perempuan Internasional ini lahir dari sebuah tragedi kekerasan. Bermula pada awal tahun 1900-an, berbagai penindasan dan ketidaksetaraan memacu perempuan untuk lebih vokal untuk mengampanyekan perubahan. Puncaknya, pada tahun 1908, sebanyak 15 ribu wanita berkumpul di Kota New York, Amerika Serikat, menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih manusiawi, dan hak suara.
Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan hari Perempuan Nasional pertama kali diperingati pada 28 Februari 1909. Selanjutnya, hingga tahun 1913 hari Perempuan Nasional dirayakan setiap hari Minggu pada akhir bulan Februari
Konferensi Internasional Perempuan Buruh kedua diadakan di Kopenhagen, Denmark, pada tahun 1910, Clara Zetkin dari Partai Sosial Demokrat Jerman mengusulkan hari Perempuan Internasional untuk dirayakan di seluruh dunia. Menyusul keputusan di Denmark, hari Perempuan Internasional dirayakan pertama kali di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss pada 19 Maret.
Lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki menghadiri rapat umum hari Perempuan Internasional yang mengampanyekan hak perempuan untuk bekerja, memilih, dilatih, memegang jabatan publik, dan mengakhiri diskriminasi.
Menjelang Perang Dunia I (1913-1924), perempuan Rusia merayakan hari Perempuan Internasional pertama pada 23 Februari di negara mereka. Setelah itu, hari Perempuan Internasional disepakati untuk diperingati setiap 8 Maret berdasarkan kalender Masehi.
Peristiwa-peristiwa tersebut menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Perlu kita garis bawahi bahwa kebangkitan perempuan bukan hanya sekadar peringatan yang terjadi pada masa lampau atau melakukan unjuk rasa menyuarakan kesetaraan gender, tetapi juga sosok perempuan harus ikut andil memberikan kontribusi terhadap sektor dunia. Kaum perempuan dan laki-laki harus saling menopang satu sama lain demi kemaslahatan umat manusia.
Hari Perempuan Internasional tahun ini mengangkat tema #BreakTheBias. Adanya bias gender, diskriminasi, dan stereotip membuat perempuan terhalang. Disengaja atau tidak disadari, bias dapat membuat perempuan sulit untuk maju. Mengetahui hal ini, diperlukan adanya tindakan untuk menyamakan kedudukan antar gender.
Dengan tema ini, kaum perempuan di seluruh dunia diharapkan mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka layak setara dengan kaum pria. Kesetaraan gender adalah kesamaan peluang dan kesempatan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Dalam artian, perempuan dengan laki-laki adalah makhluk yang memiliki potensi yang sama. Kerja sama mereka dapat mempercepat kemajuan pembangunan di pelbagai bidang.
Namun, tidak dapat dipungkiri, meskipun masyarakat abad 21 telah memasuki era globalisasi dan wacana penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah sedemikian berkembang, tetapi perempuan tidak bisa terpisahkan oleh stigma yang menempatkan perempuan rendah karena dianggap bertentangan dengan kodratnya.
Menurut kodratnya, perempuan adalah makhluk lemah lembut, perasa dan sabar. Hal, tersebut pada akhirnya membuat perempuan tidak mudah untuk mengakses hak-haknya dan masih dianggap sebagai individu yang lemah sehingga selalu dipandang sebelah mata; tidak mampu menjalankan hak-haknya.
Tak hanya itu, perempuan juga masih rentang terhadap aksi-aksi kekerasan… [Next Page 2]