
Masihkah Kita membutuhkan Perayaan Hari Lingkungan Hidup?
[page 2]
Lantas kemudian yang menjadi pertanyaan, masihkah perayaan tahunan akan kepedulian lingkungan cukup mampu kita andalkan, apakah gerakan-gerakan yang ada dengan berbagai aksinya kewalahan tak berdaya di hadapan kekuatan-kekuatan besar yang telah mengakar di perut bumi oleh nafsu segelintir manusia, atau jangan-jangan kita semua sama saja “Hanya seolah Peduli”. Apa yang menjadi sumber persoalan?
Seyyed Hossen Nasr : Masalah lingkungan adalah Problem Sains Modern
Dalam bentang pemikiran Seyyed Hossen Nasr, ia mencoba mengorganisir dan memetakan akar masalah atas sejumlah problem-problem ekologi. Menurut Nasr, pada kenyataanya manusia modern secara sadar dilanda kecemasan atas risiko krisis ekologi, polusi dan teror-teror masa depan atas masalah kelangkaan sumber daya alam. Dari sini, Hossein Nasr yang pernah berada di bawah bimbingan Bertrand Russel meyakini bahwa persoalan ini bukanlah dari keterbelakangan ataupun sebab dari kemunduran berpikir manusia, namun justru dipicu oleh kemajuan (overdevelopment).
Lebih lanjut, Hossein Nasr mengatakan rapuhnya jiwa manusia, di saat manusia modern menyingkirkan dimensi Ilahiyah dan mengambil alih peran-peran ke-Tuhanan. Sumber masalah yang coba dikemukaan oleh Hossen Nasr tidak terlepas dari problem besar yang mengakar pada nalar eksploitatif oleh manusia terhadap alam semesta. Dalam salah satu buku yang ditulis Sayyed Hossen Nasr terselip satu guyonan yang menyatakan bahwa In traditional societies, nature was seen as one’s wife, but the modern Turned it into a prostitute.
Kurang lebih guyonan ini dapat dimaknai bahwa adanya bangunan relasi kuasa manusia modern terhadap alam, di sini alam diibaratkan objek yang tuna susila diposisikan sebagai exprostitut yang harus siap melayani untuk memuaskan tuannya, tidaklah diperlakukan sebagaimana istri yang selain digunakan, dimanfaatkan dan dinikmati, tetapi juga ada tanggungjawab untuk merawat dan menafkahinya atas kesejahteraan dan keberlanjutannya.
Manusia modern memposisikan diri sebagai penguasa alam, sebagai sentral kehidupan yang kemudian dikenal dalam istilah antroposentris. Disinilah Kemudian Hossein Nasr menganggap paradigma inilah yang menjadi sumber nestapa bagi manusia modern, dengan mendewa-dewakan sains.
Kritik Hossein Nasr terhadap Sains Modern
Oleh Nasr, sains modern dianggap sekuler yang lepas dari nilai etis dan nilai spiritual. Manusia modern dengan kemampuannya mampu mengembangkan bom atom, mengembangkan virus, namun tidak terlepas dari motif-motif keserakahan atas kekuasaan. Tak dapat dipungkiri, bahwa sains modern melahirkan kecanggihan yang dianggap sebagai kemajuan, namun demikian tetaplah kemajuan tereduksi hanya pada aspek rasio dan empiris saja, Nasr kemudian menyebutnya sains modern mendegradasi peran intelegensi.
Dengan ini, manusia sedang menurunkan level kemuliaanya, merendahkan dirinya dengan memarjinalkan potensi intuisi, naluri dan imajinasinya. Alam kemudian dimanifestasikan secara mekanistik, ibarat mesin yang dapat dieksploitasi dan diprediksikan secara mutlak, alam hanya sebatas alat untuk memenuhi motif, hasrat dan egois manusia. Problem sains modern, ada modus berpikir subjek objek oleh warisan dualisme Descartes. Peradaban manusia modern mereduksi potensi-potensi manusia.
Menurut Nasr, filsuf yang meraih gelar masternya di MIT (1956) ini memandang bahwa perangkat intelegensi bagi manusia modern hanya difokuskan pada rasio dan aspek empirisnya. Di sisi lain oleh gerakan rasionalisme, spiritualitas menjadi kehilangan tempat. Pengetahuan masyarakat modern, membuat manusia menjadi berjarak atas kebahagiaan-kebahagiaan spiritualnya. Oleh adanya kehampaan spiritual inilah, mengakibatkan terjadinya krisis kemanusiaan di era modern.
Scientia Sacra (Pengetahuan Suci) , Tradisionalitas dan Spiritualitas
Hilangnya khasanah pengetahuan suci (Scentia Sacra) yang bagi manusia modern dianggapnya sebagai hal primitif. Melalui pendekatan perenialisme, Nasr kemudian menawarkan gagasan tradisionalitas, dengan menyandarkan problematika modern terhadap nilai-nilai spiritualitas, termasuk problematika ekologis. Dengan meyakini bahwa hakikat manusia terletak pada jiwanya, maka persoalan jiwa manusia adalah persoalan nilai, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritualitas.
Namun tidaklah berarti bahwa, dengan menghadirkan tradisionalitas di tengah-tengah modernitas adalah upaya untuk mengganti unsur-unsur positif dalam dunia modern, ataupun hadir untuk membelenggu kreativitas manusia. Tradisionalitas dikehendaki oleh Nasr, untuk mengikis selubung ilusi atas kepalsuan-kepalsuan modernitas. Karena Nasr berkeyakinan bahwa sakralitas dan modernitas mestilah terangkul dan terbingkai dalam mengatasi problematika yang ada. Dengan memahami sakralitas dan transendensi alam, manusia modern dapatlah kembali merajut keharmonisan dengan lingkungannya secara hakiki.
Apa yang mesti kita lakukan
Apa yang menjadi gagasan-gagasan besar oleh Hossein Nasr, bisa saja dianggap terkesan dialektis, bahkan hanya sebagai fantasi dan hanya layak dibicarakan pada ruang-ruang akademis. Saya pun berpendapat, bahwa apa yang ditawarkan oleh Nasr, dengan menghadirkan spiritualitas dalam mengatasi problematika lingkungan adalah hal yang mendasar bagi kita semua, selanjutnya untuk kita sadari dan mengaktualisasikannya ke dalam ruang dan gerak kita sehari-hari.
Kita tidaklah mungkin untuk secara ekstrim, lari dari kenyataan dengan menyingkirkan semua perangkat perangkat teknologi yang telah kita miliki. Anda pun tak akan pernah bertemu dengan tulisan ini, tanpa gadget yang mungkin anda khawatikan sebagai elemen perusak lingkungan. Ini bukanlah suatu keterlanjuran, namun kita haruslah tetap progresif dan berinovasi, tanpa merusak lingkungan. Kita mestilah, tetap optimis dan membangun keyakinan bahwasanya kita dan alam semesta sama-sama berstatus sebagai ciptaan, maka relasi yang perlu kita bangun adalah dengan memperlakukannya kembali secara terhormat, membangun relasi yang mulia, sebagaimana suami memperlakukan istri dalam koridor-koridor etis.
Hari-hari istimewa pun, akan kepedulian lingkungan mestilah tetap kita galakkan secara bersama, dengan cara-cara yang jauh lebih bermakna dan intensif, lebih dari sekedar seremonial tahunan. Gerakan-gerakan sosial akan kepedulian lingkungan, mestilah kita dukung dan menjadi bagian yang secara aktif membuatnya jauh lebih bermakna, lebih dari sekedar dedikasi yang administratif, atau hanya sebatas eksistensi semu.
Para ilmuwan pun, mestilah menjadikan pengetahuan-pengetahuan akan kesehatan lingkungan sebagai tanggung jawab moral, dan juga sebagai guide buat pengambil kebijakan, lagi dan lagi demi keselamatan bersama. Pada level pemerintah dengan seluruh perangkatnya, berada dalam arus utama untuk merumuskan dan mengeksekusi kebijakan, semestinya kebijakan dirumuskan dan dijalankan dengan penuh kearifan. Mengelola SDA dan lingkungan dengan mengoptimalkan dimensi spiritualitas.