Menggapai Solidaritas: Together Protect Each Other

Menggapai Solidaritas: Together Protect Each Other

[page 2]

Tetapi, bagaimana dengan buruh-buruh pabrik yang dilarang berhenti bekerja , para tukang becak, driver ojek, sopir angkutan umum, penjual-penjual keliling, nelayan dan buruh-buruh kasar lainnya? Apakah mereka juga bisa menerapkan itu? Jika mereka bertahan di situasi ini sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka mereka bisa saja kelaparan. Mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dalam masa-masa itu.

Di sinilah jalan buntu itu bermula. Ada dilema tersendiri dari pembatasan sosial berskala besar. Satu sisi jika tidak diindahkan, maka akan membuat penyebaran pandemi ini semakin runyam. Seperti yang diungkap Anderson Cooper, penulis buku Dispatches from the Edge: A Memoir of War, Disasters and Survival dalam sebuah wawancara di sebuah TV. Bahwa jika kita tidak mengikuti anjuran “stay at home” atau social distancing, maka akan ada jutaan jiwa melayang sebab penyebaran pandemi ini begitu cepat melesat. Itulah mengapa physical distancing demikian dibutuhkan.

Sisi lain, jika pembatasan gerak ini tidak dibarengi dengan perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap masyarakat kelas bawah (rakyat miskin), maka hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka. Memperkeruh lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), meminjam istilah sosiolog Unair Bagong Suyanto. Ini bisa menimbulkan agresivitas masyarakat yang berbahaya bagi stabilitas negara. Mengapa? Sebab dalam kondisi ini masyarakat kelas bawah (terutama kaum miskin) berharap banyak pada kebaikan orang lain (uluran tangan) terlebih pada negara (insentive kebutuhan) untuk sekadar bertahan hidup.

Saatnya Kibarkan Gotongroyong

Ada secercah harapan tatkala para anggota parlemen yang terhormat di senayan sana, mulai terpanggil untuk berbagi. Di sebuah sidang paripurna pekan lalu, beberapa fraksi menginisiasi agar ada pemotongan gaji untuk membantu mereka yang membutuhkan semasa pemberlakukan phsycal distancing.

Semoga usulan itu bukan sekadar wacana. Saatnya belajar pada negara jiran Malaysia yang memangkas gaji para petinggi negaranya selama dua bulan. Pun bisa belajar dari negara Taiwan dan Korea Selatan bagaimana mendorong keterlibatan berbagai pihak seluas-luasnya untuk membasmi wabah. Kita bisa melihat bagaimana para pejabat memotong gajinya dan para artis berdonasi secara bersama-sama diikuti masyarakat umum.

Fenomena sosial di atas adalah gambaran dari apa yang disebut sosiolog Manuel Castells sebagai “network society” atau yang dinamakan Robert Putnam sebagai “modal sosial”. Yaitu solidaritas individu atau jalinan hubungan sosial yang dimanfaatkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang untuk mencapai tujuan bersama.

Itu saya kira tidaklah sulit untuk ditiru. Kerangka Yuval Noah Harari juga telah memberi penegasan kepada kita bahwa penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah segregasi (jarak sosial), melainkan kerja sama. Apalagi kita memang memiliki warisan budaya “gotongroyong”. Seberat apapun permasalahan yang kita hadapi saat ini dalam masa perang melawan virus, akan menjadi ringan tatkala kita berjuang bersama.

Saya teringat tuturan tokoh bangsa kita Bung Hatta tentang cita-cita tolong-menolong rakyat Indonesia dalam buku Kumpulan Karangan. Menurutnya, sanubari rakyat Indonesia itu penuh dengan rasa bersama, kolektiviet. Kalau seseorang di desa hendak membuat rumah atau mengerjakan sawah ataupun ditimpa bala kematian, maka ia tak perlu membayar tukang atau menggaji kuli untuk menolongnya. Karena dia akan ditolong bersama oleh warga sedesa.

Merphin Panjaitan dalam bukunya “Peradaban Gotongroyong” juga memberi ulasan panjang tentang itu. Bahwa gotongroyong telah menjadi cara hidup bersama bangsa Indonesia untuk bertahan hidup dan melanggengkan keberadaannya dari generasi ke generasi. Ia telah menjadi kebutuhan bersama masyarakat sejak dahulu kala.

Pada masa ini, gotongroyong dapat menjadi jawaban terhadap beban berat menyingkirkan wabah ini. Kita bisa bangkit dari serangan epidemi ini jika memulai tindakan nyata yang didorong oleh rasa kemanusiaan untuk menolong yang menderita dan meringankan beban sesama tanpa pamrih.

Kita bisa belajar dari bangsa lain bagaimana menggalang solidaritas dan saling bertukar informasi tentang cara efektif menghentikan Corona. Bahwa untuk mengakhiri pendemi ini, kita perlu bergandengan tangan mengumpulkan segala daya kita untuk memenangkan pertarungan ini.

Oleh karena itu, solidaritas sosial menjadi tumpuan kita untuk bertahan saat ini. Dan bergotongroyong saya kira adalah salah satu jalan terbaik dalam menjawab tantangan itu. Untuk kebaikan bersama. Kita butuh kesukarelaan dalam semangat persaudaraan jika kita tidak ingin peradaban-peradaban yang selama ini kita semai berhenti berkembang, dan kemudian hilang ditelan waktu.

Daftar Bacaan

Anderson, Benedict R. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.

Cafra, Fritjof. 2007. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat. dan Kebangkitan Kebudayaan (Terjemahan). Bandung: Nuansa Cendekia.

Hatta, Mohammad. 1967. Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Panjaitan, Merphin.2013. Dari Gotongroyong ke Pancasila. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Panjaitan, Merphin.2016. Peradaban Gotongroyong. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Suyanto, Bagong. 2015. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: Intrans Publishing.

Https://time.com/5803225/yuval-noah-harari-coronavirus-humanity-leadership/?fbclid=IwAR235Vcb5Mu0goInIC2iZHNxUpUYU3MntCF0kqYkzL6ACyedctP_26fhfCs diakses tanggal 29 Maret 2020.

Pages: 1 2

Berawal dari Belajar, Berakhir dengan Amal (@hayanaaa)

Leave a Reply

Your email address will not be published.