OPINI: Deviasi Informasi Media Sosial di Masa Pandemi

OPINI: Deviasi Informasi Media Sosial di Masa Pandemi

Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Ilmu Dakwah)

OPINI — Sejak kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi telah menjangkit sebuah keluarga Depok, hingga saat ini, wajah media sosial digital telah berubah menjadi pusat penyebaran informasi kasus pandemi. Beragam informasi yang dikemas dalam bentuk pesan singkat, meme, foto dan video disebarluaskan secara personal melalui layanan group media sosial. Aktifitas re-sharing, re-tweet atau forward message dari satu grup ke grup lainnya terjadi karena adanya kontestasi untuk menjadi ‘first person’ dalam menyampaikan berita.

Predikat ‘first person’ yang diperoleh, dianggap mampu memberikan legitiasi identitas sebagai orang yang paling up to date dan paham tentang kondisi yang sedang terjadi. Tanpa melalui proses filterasi dan seleksi kebenaran, dengan mudah pesan ini terus distribusikan kepada publik. Alhasil, timbullah bias kebenaran yang diterima oleh publik terkait pemberitaan pandemi yang terjadi.

Terjadinya bias kebenaran ini salah satunya disebabkan oleh usaha untuk memunculkan pemberitaan yang dianggap baru dan belum diketahui oleh orang lain. Dorongan ini lahir dalam rangka memperebutkan public trust (kepercaayaan publik). Dalam sebuah diskursus yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) tahun 2017, menyatakan bahwa public trust merupakan upaya untuk memegang persepsi kebenaran tindakan yang dilakukan oleh seorang individu atau organisasi yang mampu melahirkan keyakinan kepada orang lain, bahwa tindakan yang mereka lakukan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh publik (OCED, 2017: 16). Ketika public trust mampu didapatkan, maka secara tidak lansung telah mengukuhkan keberadaannya pada posisi primer (yang utama) di dalam kelompok-kelompok stratifikasi sosial di masyarakat.

Stratifikasi sosial sendiri dijelaskan oleh Pitirim Sorokin dalam bukunya yang berjudul Social and Cultural Dynamics sebagai lapisan-lapisan sistematis kelas di dalam masyarakat yang memberikan posisi pembeda antara satu individu dengan individu yang lain, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya (Sorokin: 1957, 499).

Keberadaan stratifikasi sosial di dalam institusi moral di masyarakat, merupakan gambaran identitas modal sosial yang mampu mengikat kepercayaan anggota kelompok tentang adanya orang-orang yang berada di posisi kelas atas (high class) yang dapat dijadikan tolak ukur atas segala kebenaran yang diterima. Penguatan stratifikasi sosial ini salah satunya dengan memanfaatkan distribusi informasi kepada publik.

Terdapat dua syarat utama sebuah informasi dikatakan bersifat informatif. Pertama, informasi yang disampaikan mempunyai struktur yang jelas, simpel, dan sesuai kebutuhan. Asumsi ini merupakan gambaran bahwa sebuah informasi yang didistribusikan kepada publik yang mengandung muatan konsumtif dan solutif yang dapat menyelesaikan hal-hal yang dianggap penting dan mendesak untuk segera diselesaikan.

Kedua, informasi tersebut memiliki muatan diversitas dan kebaruan jika dibandingkan dengan informasi serupa yang telah diterima sebelumnya. Keunikan dan kebaruan dalam sebuah informasi menjadi tawaran tepat yang dapat menstimulus dan memobilisasi publik untuk mengetahui lebih lanjut tentang informasi tersebut. Mobilisasi publik untuk menerima pesan yang bersifat informatif, saat ini paling banyak terjadi di ruang-ruang media digital, khsusunya media sosial digital.

Media Sosial Digital sebagai Public Space Information

Social media is all about us, we are simultaneously the creators and the objects” (media sosial adalah segala hal tentang kita, kita secara bersamaan menjadi pencipta dan juga menjadi objek)”(Campbell, 2016: 39).
Eksististensi media sosial digital saat ini memegang peranan penting dalam sistem sosial di masyarakat. Hal ini disebabkan karena media sosial memberikan peluang bagi siapa saja untuk terlibat langsung dalam proses pendistribusian pesan kepada khalayak, baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Di media sosial, menujukkan bahwa semua orang berada dalam konteks metafora polisemi.

Istilah metafora polisemi pertama kali mampu diilustrasikan oleh Paul Ricouer dalam bukunya yang berjudul “Creativity in Languages, Word, Polysemi, Metaphor: Philosophy Today”. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa terkadang sebuah kata yang melekat pada sebuah objek mampu memiliki oposisi biner. Ketika seorang manusia adalah being (ciptaan) yang merujuk kepada posisinya sebagai objek, maka di sisi lain dia juga mampu menjadi being (pencipta) yang merujuk kepada subjek (Ricouer, 1979: 100). Hal ini jugalah yang menjadi ciri khas dari posisi seseorang di media sosial.

Ketika seseorang berada pada posisi sebagai objek di media sosial, mereka tidak memiliki pilihan dalam menerima informasi-informasi yang disebarluaskan oleh para pengguna lainnya. Hal ini disebabkan karena keberadaan media sosial sebagai public space (ruang publik) tidak mampu membatasi arus transformasi pesan yang masuk. Negasi media sosial sebagai ruang publik senada dengan persepsi bahwa siapa pun yang berada di arena ini, maka sudah wajib dan pasti untuk menerima informasi yang diberikan. Butuh ataupun tidak, mereka harus dapat menerimanya sebagai konsekuensi atas posisi mereka sebagai bagian dari sebuah sistem sosial yang berada di dalamnya. Pada akhirnya informasi-informasi yang disebarluaskan melalui media sosial digital telah mengakusisi posisi individu sebagai makhluk determinis yang berada di ruang virtual.

Sebaliknya, ketika seseorang berada pada posisi subjek di media sosial, maka kemerdekaan sepenuhnya adalah milik mereka. Media sosial memberikan hak kepada para user (pengguna) untuk membagikan semua informasi yang dianggap penting untuk disampaikan kepada pengguna lainnya. Hak ini merupakan bentuk dari layanan komersil yang diberikan oleh pihak penyedia aplikasi media sosial karena telah memberikan kepercayaan kepadanya sebagai media interaksi publik. Layanan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh para pengguna. Mereka yang selama ini memiliki keterbatasan untuk menyampaikan pesan kepada publik di alam realitas terdapat banyaknya gate (gerbang) yang harus mereka lalui, menjadi bebas dan ekspresif ketika menyebarkan pesan di dunia maya.

Semua orang yang memiliki kebebasan… [next page 2]

Pages: 1 2

Berawal dari Belajar, Berakhir dengan Amal (@hayanaaa)

Leave a Reply

Your email address will not be published.