OPINI: Deviasi Informasi Media Sosial di Masa Pandemi

OPINI: Deviasi Informasi Media Sosial di Masa Pandemi

[Page 2]

Semua orang yang memiliki kebebasan yang sama di ruang publik media sosial, dapat mendorong kemunculan dominasi informasi kepada publik. Sikap inilah yang terkadang justru menyebabkan terjadinya deviasi (penyimpangan) informasi, hanya karena ingin memperebutkan atau mempertahankan predikat sebagai ‘first person’ di dalam sebuah kelompok sosial. Perilaku ini akan semakin nampak ketika dihadapkan pada sebuah masalah yang dianggap penting untuk segera diselesaikan. Salah satu bentuk deviasi informasi dapat ditemukan dalam berita-berita yang berkaitan dengan kasus pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini.

Deviasi Informasi Media Sosial

Deviasi di dalam ranah sosiokultural digambarkan sebagai sebuah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seseorang terhadap perspektif norma yang berlaku dan setiap perilakunya telah melampaui batas- batas toleransi moralitas yang berlaku di masyarakat (Syamsi, 2010: 8). Deviasi terjadi ketika seorang, atau suatu kelompok bertindak di luar batas-batas aturan moral yang telah disepakati dalam sebuah institusi sosial di masyarakat. Salah satu bentuk deviasi tersebut, dapat ditemukan dalam hal proses pendistribusian informasi kepada publik. Akan tetapi, sebelum membahas tentang deviasi informasi yang terjadi di media sosial, maka penulis akan memaparkan sebuah hasil survey dilakukan pada sekelompok responden di salah satu group media sosial digital.

Survey ini diikuti sebanyak 123 responden dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana publik menggunakan layanan media sosial untuk memperoleh informasi seputar Wabah Covid-19. Hasil dari survey tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, survey ini menunjukkan sebanyak 70 persen responden menggunakan media sosial (WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter) sebagai sumber informasi mengenai perkembangan kasus Covid-19 yang terjadi. 21,7 persen memperoleh informasi tersebut di media pemberitaan digital (Detik, Kumparan, Vice, Kompas, Tribun News, dll), dan sisanya sebanyak 8,3 persen memperolehnya dari pemberitaan di televisi.

Kedua, para responden yang mengunakan media sosial sebagai sumber informasi, menunjukkan sebanyak 55 persen memperoleh infomasi tersebut dari media sosial WhatsApp, 23,3 persen dari Instagram, 8,3 persen dari Facebook, 3,3 persen dari Twitter dan 10 persen sisanya diperoleh dari media-media sosial lainnya.
Ketiga, tingkat kepercayaan publik terhadap pemberitaan yang diperoleh di media sosial menunjukkan bahwa 40 persen responden memilih untuk percaya, 38 persen bersikap netral, 16,7 persen sangat percaya, 3,3 persen tidak percaya dan 1,7 persen memutuskan untuk sangat tidak percaya terhadap pemberitaan yang diperoleh di media sosial.

Terakhir, ketika muncul pertanyaan apakah publik mampu mengidentifikasi tentang indikasi adanya informasi yang bersifat hoax, maka sebanyak 1,7 persen menyatakan bahwa semua informasi adalah hoax, 3,3 persen menganggap bahwa hampir seluruhnya hoax, 13,3 persen mengaggap bahwa itu adalah fakta dan sebanyak 81,7 persen menyatakan bahwa antara posisi antara informasi yang hoax dan fakta itu berimbang di media sosial.

Dari data yang diperoleh di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa pada umumnya para pengguna media sosial, setiap saat menerima pemberitaan tentang perkembangan kasus pandemi Covid-19 yang sedang terjadi dan menyadari bahwa antara informasi yang hoax dan fakta yang selama ini mereka terima itu berimbang. Keberimbangan inilah yang merefleksi terjadinya deviasi informasi di media sosial.

Deviasi informasi salah satunya disebabkan karena adanya ruang kebebasan tidak terbatas yang diberikan kepada setiap pengguna media sosial untuk terus membagikan informasi kepada orang lain, khususnya sesama pengguna media sosial. Keinginan untuk menjadi information centre (pusat informasi) di kelompoknya, terkadang justru mengabaikan batas-batas toleransi yang wajib menyampaikan fakta yang sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi. Kondisi ini merupakan gambaran seorang pengguna sosial yang menjadi subjek dan termotivasi untuk terus mendominasi para objek.

Dominasi dari beberapa pengguna media sosial, cenderung menjadi pemicu terjadinya deviasi informasi serta dapat menimbulkan ambiguitas pemberitaan terkait kasus Coivd-19 yang sedang terjadi. Meskipun disadari pada dasarnya saat ini publik memang sangat membutuhkan infomasi-informasi yang bersifat solutif, akan tetapi semakin banyaknya ruang-ruang ambigu yang tercipta akibat deviasi informasi yang terjadi, maka justru semakin mendegradasikan kepercayaan publik terhadap kebenaran fakta yang disampaikan melalui media sosial.

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya deviasi informasi yang semakin berkepanjangan pada masa pandemi ini, setiap orang setidaknya mampu memiliki self-consciousness (kesadaran diri) dalam menyebarkan informasi-informasi terkait kasus pandemi ini. Penerapan pola filterisasi informasi yang diterima dan tidak lansung menyebarluaskan kembali pesan tersebut adalah langkah yang paling efektif untuk mencegah timbulnya deviasi informasi.

Semua orang sudah harus mulai sadar, bahwa bukan hanya mata rantai penyebaran virus Covid-19 yang harus diputuskan, akan tetapi penyebaran virus deviasi informasi di media sosial perlu dilakukan tindakan yang serupa. Yakinlah pada sebuah asumsi bahwa di media sosial kita tidak hanya menjadi korban atas terjadinya deviasi informasi, akan tetapi kita sendiri juga menjadi pelaku atas kemunculan deviasi informasi tersebut.

Pages: 1 2

Berawal dari Belajar, Berakhir dengan Amal (@hayanaaa)

Leave a Reply

Your email address will not be published.