
OPINI: Koalisi Jegal-Menjegal pada Pilpres 2024
(Page 2)
Selanjutnya, Poros Gerindra dan PKB, poros koalisi ini sudah lama membangun komunikasi, dan menurut penulis kedua partai inilah yang bisa menjadi percontohan dalam demokratisasi partai politik di Indonesia yang tetap konsisten mengusung ketua umumnya masing-masing untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
Basis pendukung kedua partai ini juga dikenal mempunyai kader yang militan, dan tentu ini menjadi modal utama sebuah partai jika semua kader di setiap jenjang kepengurusan solid untuk memperjuangkan capres yang merupakan ketua umumnya sendiri. Kondisi berbeda jika yang diusung justru figur luar atau kader partai politik lain, militansi kader bisa saja tidak maksimal dan akhirnya koalisi yang terbangun hanyalah gerbong kosong. Hanya mendapat tiket menjadi capres dan cawapres, akan tetapi kader di akar rumput bermanuver untuk memenangkan capres cawapres pilihannya masing-masing.
Kemudian, PDIP satu-satunya partai politik yang bisa mengusung capres dan cawapres sendiri. Bahkan memasangkan duet Puan Maharani-Ganjar Pranowo ataupun sebaliknya sangat memungkinkan bagi PDIP. Namun, secara historis sangat sulit memenangkan pemilu presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain sehingga tentu PDIP sudah mempersiapkan strategi politik yang matang untuk kembali mempertahankan kekuasaan yang sudah dijalani selama sepuluh tahun terakhir.
Menurut penulis memaksakan mengusung Puan Maharani sebagai capres akan menjadi tantangan tersendiri bagi PDIP melihat elektabilitas Puan dari berbagai lembaga survei hanya berada di lima besar dibandingan nama populer lainnya. Sehingga pilihan yang sangat rasional bagi PDIP yakni bergabung dengan poros koalisi lainnya. Apakah bergabung di KIB bersama Golkar, PPP, dan PAN atau bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB. Karena berkoalisi dengan Nasdem, Demokrat, dan PKS rasa-rasanya sulit untuk diwujudkan melihat hubungan antara king maker masing-masing partai, yakni Megawati, SBY, dan Surya Paloh yang akhir-akhir ini terlihat berseteru secara politik. Namun, lagi-lagi dalam politik apapun bisa terjadi yang abadi hanyalah kepentingan, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan.
Skenario Pilpres Dua Putaran
Jika pada akhirnya ada empat atau tiga poros koalisi yang terbentuk, maka skenario pilpres dui putaran bisa saja didesain sejak awal. Di sinilah praktik jegal-menjegal capres tertentu kemungkinan akan terjadi. Sehingga pada akhirnya akan ada pasangan capres dan cawapres yang tereliminasi pada pemilu presiden putaran pertama jika tidak ada pasangan capres dan cawapres memperoleh suara kemenangan 50 persen + 1 dan sebaran suaranya minimal 20 persen dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia.
Pada akhirnya, poros koalisi yang capres dan cawapresnya tereliminasi akan bergabung ke poros koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua. Maka, di sinilah konsistensi dan komitmen partai koalisi dipertaruhkan, apakah tetap solid atau kah terbelah ke dua kubu koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua.
Menurut penulis, koalisi untuk menjegal capres tertentu sangat memungkinkan untuk terjadi. Setidaknya ada dua nama yang berpotensi untuk dijegal, yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua nama tersebut secara elektabilitas dan popularitas, sangatlah berpeluang menjadi presiden, akan tetapi kedua punya masalah yang sama yakni partai politik. Anies bukan kader partai politik, meski sudah dideklarasikan oleh Partai Nasdem posisinya rentan mendapatkan penolakan di internal partai ataupun dengan internal koalisi nantinya.
Sebaliknya, Ganjar Pranowo merupakan kader militan PDIP akan tetapi tidak mendapatkan restu dari ketua umum untuk menjadi calon presiden karena ada putri ketua umum yang diutamakan. Ganjar berpotensi tidak mendapat tiket untuk menjadi capres jika masing-masing poros koalisi menutup pintu baginya, dan Anies Baswedan berpotensi dijegal pada pilpres putaran kedua jika dia tidak mampu menang mutlak di pilpres putaran pertama.
Pada akhirnya koalisi jegal-menjegal akan menjadi anomali dalam sistem pemilu Indonesia. Akar masalahnya adalah presidential threshold yang mau tidak mau mewajibkan partai politik harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres.
Padahal secara konstitusional apabila partai politik sudah lolos menjadi peserta pemilu maka sudah dapat mengusung capres dan cawapresnya. Namun, semua upaya hukum setiap partai politik untuk mengusung capres dan cawapresnya sudah ditutup rapat oleh Mahkamah Konstitusi dengan tetap menyatakan presidential threshold tetap konstitusioanal karena merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.
Semoga saja pemilu 2024 berjalan jujur dan adil, agar dapat melahirkan pemimpin yang berintegritas dan mampu menjaga stabilitas pemerintahan sehingga semua program-program yang dilahirkan nantinya bermuara pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD NKRI 1945.