
OPINI: Pandemi, Media dan Memori Kolektif
[page 2]
Agenda setting mengatakan, media mungkin tak sepenuhnya berhasil mengubah perilaku kita, namun media ternyata berhasil mengontrol kesadaran kita dengan menekankan sebuah isu yang dianggap paling penting untuk kita lihat, dengar, baca, dan percaya.
Karena itu, jangan heran jika soal-soal yang dulu heboh dibincangkan oleh publik Indonesia, seperti kasus Harun Massiku, kenaikan tarif BPJS Kesehatan, atau masalah Freeport, hari ini tak lagi jadi prioritas dalam wacana publik Indonesia.
Penyebabnya adalah media massa kita tak lagi memberi tempat pada masalah-masalah tersebut dalam headline pemberitaan mereka. Lalu, apa pentingnya merawat ingatan-ingatan seperti itu?
Dalam konteks Harun Massiku, kenaikan tarif BPJS Kesehatan, atau masalah Freeport mungkin memang tak terlalu signifikan lagi untuk dipikirkan dan memenuhi benak publik. Seperti manusia, memori publik juga terbatas. Banyak hal-hal baru yang penting untuk didiskusikan. Toh, lagi pula masalah-masalah tersebut telah diserahkan pada pihak-pihak berkompeten untuk menanganinya.
Namun perlu dipahami bahwa tak semua masalah yang terjadi dalam kehidupan ini sepenuhnya perlu dilupakan dan cukup menjadi sejarah. Ada hal-hal yang mesti kita jaga dan bahkan lestarikan sebagai memori kolektif atau ingatan bersama, dan selanjutnya menjadi perangkat literasi bagi masyarakat dan generasi mendatang, termasuk dalam soal pandemi Covid-19.
Masalahnya, hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa bencana-bencana besar yang merenggut banyak jiwa manusia hanya mampu mengendap dalam ingatan publik paling lama satu setengah generasi, dan bahkan mungkin lebih cepat dari itu. Setelahnya dilupakan dan ketika bencana baru atau bencana serupa muncul, masyarakat termasuk juga para pengambil kebijakan panik dan tak punya referensi yang cukup tentang tindakan yang diperlukan dalam menghadapi masalah tersebut.
Memori kolektif tak hanya berkaitan dengan masalah-masalah bangsa, tetapi juga bisa berkaitan dengan soal soal keluarga atau masyarakat atau soal-soal spesifik lainnya. Memori kolektif pada dasarnya adalah jiwa sebuah keluarga, jiwa masyarakat, atau jiwa sebuah bangsa.
Tanpa ingatan bersama tentang hal hal penting untuk dikenang, sebuah keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah bangsa akan kehilangan pengetahuan tentang diri dan jati diri mereka, dan pada akhirnya mereka akan melupakan masa lalunya, dan bangsa atau masyarakat tersebut tak lebih hanya sebagai sejarah. Secara fisik ada tapi secara jati diri mereka tak lebih hanya masa lalu.
Memori kolektif membuat seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok, menciptakan pemahaman kolektif tentang apa yang telah dialami, sebuah pemahaman yang membawa sekelompok orang menjadi lebih dekat. Memori kolektif bukan hanya catatan sejarah masa lalu, tapi cerita tersebut mempengaruhi identitas diri dan memberi makna kehidupan sehari-hari yang diwariskan dari generasi ke generasi (Seil, 2010).
Peristiwa buruk dapat diingat atau dilupakan untuk membentuk pemikiran atau membentuk identitas sosial bagi seseorang atau masyarakat. Ada beberapa tujuan untuk mengingat masa lalu, salah satunya untuk menjadikan pelajaran agar sebuah peristiwa tidak terulang Kembali (Barbara A Misztal, 2003).
Tentu dalam kehidupan ini, mestinya kita tak hanya merawat memori kolektif kita tentang hal-hal baik dan menyenangkan, tetapi juga hal-hal buruk untuk menjadi pembelajaran berharga yang akan diwariskan kepada generasi mendatang sebagai pengetahuan bersama yang akan berguna bagi kelangsungan peradaban manusia di planet ini. Wallahu a’lam bishawab.