
OPINI; Physical Distancing dan Budaya Komunikasi
(Page 2)
Tak hanya itu, banyak pernyataan yang dikeluarkan presiden tidak matang, yang mengakibatkan pro kontra pada tingkat eksekusi. Kondisi berbeda justru diperlihatkan oleh pemerintah daerah yang terkesan lebih siap, cekatan, dan program mereka lebih terarah dan tidak ambigu.
Penggunaan istilah-istilah asing seperti social distancing, physical distancing, stay at home, atau lockdown, tracing, spesimen, test kit, rapid test, swab test juga perlu dikritisi. Dari factor proximity (kedekatan) ruang dan sosial, istilah-istilah asing tersebut sangat mengganggu upaya internalisasi pesan – pesan dimaksud ke publik, utamanya pada masyarakat bawah yang merupakan kelompok paling rentang terjangkit Covid-19.
Akibatnya, atmosfir pemberitaan yang dibangun media massa tentang bahaya virus Corona yang gencar, tak menyurutkan semangat masyarakat untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas sosial seperti biasa.
Begitu pula halnya imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait kebijakan beribadah di rumah, juga banyak anggota masyarakat tak mengindahkannya. Yang terakhir ini berkaitan dengan pemahaman agama tentang takdir yang juga melahirkan pro kontra tak kalah sengitnya di kalangan umat Islam.
Budaya ‘Ngerumpi’
Telah menjadi fitrah manusia sebagai mahluk komunikasi, senantiasa membutuhkan interaksi dengan orang lain. Anda tak hanya butuh kehadiran seseorang dalam kehidupan ini, tapi juga butuh tanggapan atau respon komunikasi darinya. Entah responnya negatif atau positif, tak jadi soal.
Tak ada manusia di dunia yang tak membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi. Manusia adalah makhluk yang haus akan komunikasi. Pada masyarakat timur yang dominan menggunakan budaya komunikasi verbalisme lisan, kemudahan yang ditawarkan kemajuan teknologi komunikasi, ternyata tak menghilangkan kebiasaan mereka untuk ‘ngerumpi‘ sebagai manifestasi tuntutan akan kebutuhan komunikasi.
Pasca pemberlakuan social distancing dan selanjutnya physical distancing, di sejumlah sudut kota, lorong-lorong atau perumahan-perumahan dengan gampang kita dapat menemukan kumpulan atau kelompok orang bercerita serta bercengkerama seperti biasa. Juga banyak warung kopi, kafe-kafe atau gerai dikabarkan tetap buka, meski jumlahnya tidak seramai biasanya. Angkutan transportasi umum seperti kereta, bus kota tetap saja disesaki penumpang.
Tak ada shock culture. Kisah covid-19 yang disebutkan sebagai salah satu bencana kesehatan terburuk dalam sejarah peradaban manusia, seperti tak berpengaruh pada mereka. Bahkan, ketika dikabarkan bahwa epicentrum virus ini tak lagi hanya menyentuh wilayah medis dan aspek kesehatan, tetapi telah mengguncang aspek ekonomi, sosial budaya, agama hingga persoalan politik dan hubungan internasional, tetap saja kelompok ini easy going.
Tentu kita berharap ada kesadaran secara kolektif untuk bersama – sama mengatasi wabah ini. Persoalan ini tak akan berhenti jika masyarakat tidak memiliki awareness, pentingnya berkontribusi secara aktif menghentikan merebaknya Covid-19 di negeri ini.
Budaya komunikasi kolektivisme pada masyarakat kita harus didayagunakan untuk membangun kesadaran komunal dan tanggung jawab secara sosial terhadap keselamatan individu yang ada di sekeliling kita. Karena bisa jadi, tanpa sadar seseorang telah positif, namun tanpa gejala dan menjadi carrier atau pembawa kemudaratan bagi orang lain.
Pemerintah sudah waktunya peka terhadap aspek-aspek budaya komunikasi masyarakat kita. Kultur komunikasi ketimuran kita harus dapat diarahkan menjadi sesuatu yang produktif, mendukung kebijakan dan kampanye penanganan Covid-19. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawabi.