
Pandemi Covid 19: Alarm Kebebalan Semesta?
[Page 2]
Pemerintah memiliki cara tersendiri menghadapi pandemi Covid-19 tentu atas pertimbangan berbagai aspek. Begitu juga suara ‘oposian’, memiliki nalar kebenaran, karena fakta Pandemi Covid-19, justru membawa korban besar di negara-negara terpapar selain RRT, seperti Italia, Iran, Spanyol, Korsel, dan USA. Diskusi dan ‘semburan’ ide melalui kanal Medsos tentang pro-kontra respon pandemi Covid-19 menjadi ‘hingar bingar’, yang akhirnya pegiat dan pembaca medsos menjadi ‘terbelah’, ada yang menjadikan hiburan, meme, serius, bahkan menjadi cemas dan takut.
Dari Sinisme dan Kebebalan menuju Pencerahan
Di tengah merebaknya Pandemi Covid-19 ini, berbagai pakar dan ahli menulis opini dan argumen sebagai bentuk respon dan analisis implikasi kehidupan, tentu berdasarkan keahlian dan kedisiplinan masing-masing. Tulisan yang masuk dalam ‘kanal’ media mainstream dan media sosial cukup bervarian dari berbagai perspektif, ada dari aspek medis, politik, ekonomi, hukum, teologis, sosiologi, komunikasi, bahkan pendidikan. Fenomena temporer tersebut, sebagai bentuk reaktif oleh ilmuwan dan praktisi terhadap ‘serangan’ dahsyat Covid-19 yang dapat ‘meluluhlantakkan’ tatanan kehidupan berbangsa.
Ilmuwan terdesak membuka kembali nalar history dan riset, untuk mengungkap ke-misteri-an Covid-19, mulai asal mula, sebab lahirnya, struktur zatnya, pola penyebaran, dampak pada manusia, dan seterusnya. Belakangan terjadi ‘perang propaganda’ media antara RRT dan USA terkait sumber lahirnya Pandemi Covid-19, tidak ada yang mengaku sebagai penyebab, sehingga saling tuduh menuding. Tapi, apapun klaim dan tuduhan itu, yang diketahui publik awalnya pandemi Covid-19 bermula di Wuhan RRT, terserah pandangan pakar, konspirator, dan influencer nantinya.
Covid-19 menjadi ‘sinyal’ bagi kita bahwa manusia tampak “diperbudak” oleh kreativitas dan inovasinya sendiri. Di tengah revolusi industry 4.0, justru terlahir ‘amunisi’ mematikan dan ‘kejam’ membunuh tuannya sendiri. Covid-19 bagai binatang piaraan, lepas dari kandang, lalu menyerang siapa saja di sekitarnya, tanpa peduli majikan atau orang asing.
Karena Covid-19, manusia jadi cemas dan tidak bebas berinteraksi dengan siapapun, manusia panik membentengi diri melalui dinding dan tembok kamar dengan social distancing dan physical distancing, manusia khawatir tidak bisa bekerja lagi untuk menghidupi diri dan keluarga, manusia menjadi sadar pentingnya menjaga kesehatan, manusia tergugah pentingnya investasi masa depan, manusia menjadi lebih giat belajar cara keluar dari krisis, manusia menjadi sadar pentingnya menghadirkan eksistensi Tuhan dalam dirinya, manusia sadar bahwa dalam menyelesaikan suatu persoalan besar diperlukan pendekatan multidimensi, dan berbagai isu-isu lainnya.
Dunia terasa ‘berhenti’ berputar oleh aktivitas dan jeratan kesibukan mendera, berbanding terbalik dengan ‘prosessor’ nalar yang semakin dinamis dan dialektis. Kondisi ini membuat kepanikan semakin menjadi, kecemasan yang meninggi, stress yang menekan, dan berdampak pada psikosomatik tubuh. Benteng hidup menjadi rapuh oleh keterbatasan nalar dan kesumpekan psikis manusia modernis. Covid-19, menekan perputaran waktu, di tengah kebisingan hegemoni nafsu, dan memberi jedah untuk membuka nalar, bahwa manusia penuh keterbatasan.
Hikmah dibalik Pandemi Covid-19?
Pandemi Covid-19 hadir seakan membawa ‘pencerahan’ bagi manusia di belahan bumi yang tak berdosa. Pandemi Covid-19 memberikan kearifan kepada pemimpin bangsa, social, dan agama, perlunya menarik diri dari sentiment egoisme dan kepongahan arogansi. Covid-19 mengajari generasi, agar keluar dari ‘kegelapan’ hati menuju cahaya ilmu yang ber-tamaddun. Pandemi Covid-19, selain dampak negatif yang maha dahsyat dan mengerikan, tentu ada secarik ‘benang merah’ bisa ditarik sebagai dampak positif, di antaranya:
Aspek Medis (kesehatan). Ganasnya pandemi Covid-19 mendesak publik belajar ilmu kesehatan dan menjaga pola hidup sehat. Istilah medis sudah mulai ‘akrab’ bagi publik seperti imunitas, psikosomatik, disinfectant, hand sanitizer, WFH, ODP, PDP, APD, dan lain-lain.
Dokter dan paramedic turun gelanggang mengedukasi masyarakat tentang Covid19, pola penyebaran, gejala, dampak, dan cara mengatasi secara konvensional. Di antara beberapa solusi alternatif ditawarkan menjaga imun tubuh agar tidak mudah terinfeksi Covid-19, seperti racikan jahe, kunyit, jeruk, madu, dan seterusnya, jemur diri (pukul 10.00 pagi) sambil olahraga, relaksasi jiwa, physical distancing, dan perkuat spiritual.
Kuliah ‘gratis’ kesehatan selama Pandemi Covid-19 sangat intens, sehingga publik mulai paham dan sadar akan pandemi Covid-19. Ilmu medis dan kesehatan dalam menyikapi pandemi Covid-19 membutuhkan multidisipliner dalam menjalankan misinya, seperti teologi, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Tenaga kesehatan (Nakes) sebagai garda terdepan ‘melawan’ pandemi Covid-19, jika beribadah butuh fatwa ulama, jika galau dalam tugas butuh psikolog, jika ragu bertindak butuh ahli hukum, jika ada ide ingin diterapkan butuh elit politik, jika kekurangan ADP butuh ekonomi, jika memutus rantai pandemi Covid-19 butuh pendekatan pendidikan, dan seterusnya.
Aspek Teologis. Pandemi Covid-19 juga berdampak pada religiusitas sosial, mendesak ulama mengkaji kembali normativitas dan historisitas Islam, agar memberi rahmah bagi pengikutnya. Kebijakan social distancing, berakibat pada peniadaan shalat berjamaah di masjid dan shalat jumat, terutama di daerah yang ditetapkan red zone (zona merah), bahkan pembatalan ibadah Umrah dan Haji oleh pemerintah Saudi Arabia (untuk sementara waktu).
MUI harus berkolaborasi dengan Ahli Kesehatan dalam melahirkan fatwa, seperti bolehnya tayammum bagi Nakes (Tenaga Kesehatan) jika ingin shalat, protokol pengurusan jenazah (tajhiz jana’iz)bagi terinfeksi Covid-19, dan seterusnya. Masyarakat mendapat kuliah gratis tentang Fiqh, kaidah-kaidah ushuliyah dalam istinbath hukum, kewenangan MUI merumuskan fatwa, adanya perbedaan sikap MUI antara daerah yang satu dengan yang lain, dan berbagai aspek lainnya.
Covid-19 ini memberi kesempatan umat Islam mendapatkan pencerahan tentang asal-usul virus Corona dalam Islam (walau masih perdebatan), sikap Nabi Muhammad terhadap mewabahnya penyakit menular (لطَّاعُونِ), posisi takdir dan ikhtiar tentang kehidupan, social distancing bagi sufistik, physical distancing dan relevansinya interaksi sosial dalam Islam, pentingnya kontemplasi diri dalam mendapatkan hikmah dari makrifat-Nya, dan berbagai isu-isu kajian keislaman lainnya. Wal hasil, petikan hikmah di tengah Pandemi Covid-19, banyak waktu untuk bermuhasabah, menyadari diri, menyelami mafrifah-Nya, dan bermaghfirah kepada Allah.
Aspek hukum, Pandemi Covid-19 berdampak pada aspek hukum, terutama dalam konteks ketatanegaraan, kewenangan pemerintah pusat dan kepala daerah tentang lockdown, karantina wilayah, HAM masyarakat, dan seterusnya. Beberapa daerah telah melakukan karantina wilayah bahkan tingkat RT/RW, ada yang melakukan karantina sendiri. Kepastian Pemerintah Pusat RI mengambil keputusan yang tegas dalam menghadapi Covid-19, menjadi harapan dari rakyat.
Ketika Presiden RI merencanakan Darurat Sipil (Ayosemarang.com, 31 Maret 2020), masyarakat melalui Medsos menjadi ‘ribut’ dan terbelah pro-kontra atas keputusan tersebut. Terkait UU No. 8 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan versus Perpu No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-undang No. 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya.
Pandemi Covid-19, menjadi momentum masyarakat belajar hukum di Indonesia, mulai dari pemberitaan hoaks tentang Covid-19, HAM atas berkumpul oleh masyarakat, posisi delik hukum tentang ‘himbauan’, kewenangan Presiden terhadap OJK, dan seterusnya. Kuliah hukum secara gratis pun tidak bisa dielakkan dan menjadi ‘berkah’ tersendiri di tengah gejolak Pandemi Covid-19.
Aspek ekonomi. Pandemi Covid-19 berdampak kepada aspek ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Ekonomi dalam level Negara tampak mengalami ‘turbulence’, kurs dollar atas rupiah, cadangan devisa, pasar saham, harga minyak dunia, utang luar negeri, barang impor, dan seterusnya. Di saat yang sama, pekerja informal, kaki lima, harian, ojek online, menjadi kehilangan sumber penghasilan karena konsumen pada karantina diri di rumah (stay at home).
Covid-19 memberikan pencerahan tentang pentingnya setiap saat persiapan pasokan secara ekonomi dalam menghadapi rintangan masa depan. Afek domino Pandemi Covid-19, memberikan kuliah di ruang publik bahwa ‘kelesuan’ ekonomi masyarakat karena adanya penurunan permintaan konsumen (stay at home), daya beli masyarakat rendah karena tidak bekerja lagi, industry macet karena pekerja libur, nelayan berhenti karena ikan tidak ada pembeli, dan sebagainya.
Masyarakat sudah memahami, tatanan ekonomi menjadi ‘porak-poranda’ … [next page 3]