Pandemi Covid 19: Alarm Kebebalan Semesta?

Pandemi Covid 19: Alarm Kebebalan Semesta?

[page 3]

Masyarakat sudah memahami, tatanan ekonomi menjadi ‘porak-poranda’ akibat dari ganasnya Pandemi Covid-19 yang mengancam nyawa manusia. Kebijakan pemerintah pusat melawan Pandemi Covid-19 salah satu acuan utamanya adalah pertimbangan ekonomi, seperti pernyataan LBP menolak usulan Anis tentang penyetopan operasional bus antarkota antarprovinsi (AKAP), antarjemput antar provinsi (AJAP), dan pariwisata (iNews.id, 31 Maret 2020).

Aspek Psiko-sosial. Pandemi Covid-19 semakin radikal penyebarannya berimplikasi kepada kepanikan massal (mass panic). Refleksi kepanikan masyarakat berujung pada terganggunya keseimbangan sistem sosial (Kusmanto, 2018). Ketika ada seruang jaga jarak sosial (social distancing) dan bekerja di rumah (work from home), masyarakat menjadi panic dan berburu belanja di mall, pasar, dan lainnya, untuk persiapan pasokan selama di karantina.

Implikasi dari jargon social distancing atau physical distancing, maka dihimbau masyarakat tidak bepergian dan berkumpul seperti acara hajatan, pesta kawinan, kegiatan keagamaan, bahkan shalat berjamaah. Istilah klasik, “bersatu kita teguh-bercerai kita runtuh” harus direvisi sesuai kehendak Pandemi Covid-19, yakni “Bersatu kita runtuh-bercerai kita teguh’.

Pandemi Covid-19 ini membuka mata publik, sehebat apapun pasti memerlukan bantuan orang lain. Covid-19 mengajarkan kepada kita pentingnya mengindahkan nasihat dan arahan dari ahli dan berwenang agar hidup terhindar dari serangan pandemi Covid-19.

Di tengah pandemi Covid-19 memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa modal sosial menjadi kunci utama keberhasilan keluar dari marabahaya, saling berbagi, membantu meringankan beban, menjadi kunci utama keluar dari kepanikan sosial.  Ibnu Sina (980 M) menyatakan “kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan ialah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan”.

Aspek politik. Pandemi Covid-19 ini,membuat elit politik ‘tidak bisa tidur’ dan cemas dalam memikiran kehidupan rakyatnya. Antara kecemasan dan kehati-hatian melahirkan sikap ambigiu dalam mengambil sikap, antara menyelamatkan bangsa dari sisi ekonomi dan menyelamatkan rakyat dari sisi kesehatan.

Pemimpin dituntut memiliki political will, berani mengambil keputusan walaupun tidak popular, tetapi berpihak kepada kepentingan rakyatnya. Pandemi Covid-19 memberikan pressure kepada leader agar segera memberikan kepastian hidup warganya, memberi motivasi, dan kepercayaan diri. Kini pemerintah RI menerapkan Pembatasan Skala Besar dan Darurat Kesehatan dengan realokasi anggaran menghadapi pandemic Covid-19 sebanyak 405.1 T (Tempo.com, 31 Maret 2020).

Di tengah pandemi Covid-19, publik menerima kuliah gratis bahwa seorang pemimpin bangsa, dibutuhkan leadership yang kuat, manajemen konflik yang jitu, presisi kebijakan yang akurat, mampu menggerakan solidarity making, dan hebat dalam problem solving. Kebijakan seorang pemimpin harus dikemas dalam model komunikasi massa yang efektif, agar semua pihak mampu menyimak dan mentaatinya, agar kapal besar yang dinahkodai tetap stabil di tengah badai samudra.

Saatnya pepatah kuno Belanda dibutuhkan: leiden is lijden (memimpin adalah menderita), dalam arti, memimpin adalah sacrificing (berkorban), bukan demanding (menuntut).


Rajut Retas Nalar Pendidikan

Pendidikan tampak ‘boros’ nalar, semua persoalan ingin dipikirkan dan dinarasikan. Ternyata memang benar adanya, bahwa education is life and life is education (Langeveld), education is the process without end (Jhon Dewey). Nabi Muhammad Saw, juga menegaskan (اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ). Yah, pendidikan bersifat multidimensi dan mencakup segala aspek (M. Arifin).

Oleh sebab itu, pendidikan harus ‘hadir’ melihat kegamangan ini akibat Pandemi Covid-19. Pendidikan tidak boleh diam, karena diamnya pendidikan tanda akhir dari sejarah kehidupan. Pendidikan mulai ‘menggelitik’ bahwa pandemi Covid-19 ini tidak lebih dari ‘isyarat’ kepongahan manusia di alam jagad.

Terlepas hasil rekayasa genetika atau evolusi alam, pandemi Covid-19 telah membuka babakan baru dalam lompatan paradigma, menjaga ekosistem, menata order sosial, dan intens interaksi ‘vertikal’ adalah tiga domain yang harus berjalan sinergis, harmoni, dan seimbang (equilibrium). Ketiga domain tersebut, diikat dalam kurva iman dan ilmu, terefleksikan dalam akhlak dan amal, dan bermekar dalam ikhsan dan ikhlash. 

Pandemi Covid-19 mendorong me-review sirkulasi hidup, aktivitas diredakan oleh mesin waktu, ambisi duniawi terdegradasi, sikap abai terhadap eksistensi diri dan Tuhan jadi sesal. Manusia ‘ditekan’ untuk jeda sejenak (stay at home) agar punya luang me-refresh visi ke depan.

Pendidikan melihat eksistensi fitrah perlu ‘dinyalakan’ di tengah kegaduhan duniawi, mendialogkan akal (‘aql) dan kehendak-bebas (nafs). Aktualiasi fitrah menjadi prasyarat lahirnya keseimbangan hidup yang berkeadaban (Pransiska, 2016). Interaksi ‘aql dan nafs perlu dilakukan dengan pendekatan interdisipliner, sensitivitas, dan interkoneksitas atau disebut “jaring laba-laba keilmuan teo-antroposentrik-integralistik” (Amin Abdullah, 2005).

Problem sosial dan kehidupan dalam sudut pendidikan, sejatinya dicarikan solusi dengan pendekatan inter, multi, dan transdisipliner (Sutrisno, 2016). Hal tersebut, pendidikan sejatinya dimulai dengan konsep diri (interaksi ‘aql dan nafs yang harmoni), mengkaji ilmu dengan basis teo-antroposentrik-integralistik, dan penyelesaian masalah dengan pendekatan inter, multi, dan transdisipliner.

Pandemi Covid-19 dalam konteks pendidikan, menggaungkan kearifan untuk kembali ke jati diri dan mengurai hikmah di balik ‘kegamangan’ hidup.

Kembali ke aktivitas keseharian, Pandemi Covid-19 merubah sistem seketika, dari tatap muka menjadi distancing, bagi guru dan dosen mengajar di kelas berubah menjadi daring. Pendidikan tampak ‘diparkir’ dari aksi nyata menjadi maya (stay at home), guru dan dosen tadinya adalah ‘eksekutor’ di kelas menjadi ‘remote controler’ (work from home).

Pendidikan sejatinya adalah perubahan prilaku, baik pikiran, perasaan, spiritual, maupun vokasional (Halik, 2019). Jika pendidikan berlangsung sepanjang waktu dengan basis daring (online), maka harus ‘diracik’ serius sistemnya, yakni materi, media, metode, dan evaluasi. Restorasi sistem pembelajaran yang berbasis TIK (daring) menjadi sebuah keharusan untuk diselaraskan nilai-nilai religiusitas.

Esensi TIK adalah rasionalisasi, objektivikasi, dan desakralisasi yang berada porsi bebas nilai, memiliki ruang dan karakter yang berbeda dengan pendidikan Islam yang syarat nilai. Pembelajaran berbasis TIK tanpa racikan ‘religiusitas’, maka diduga lahir alumni yang cerdas nalarnya, tidak peka bathinnya, dan mudah galau dalam kebisingan. Akibat pandemi Covid-19, memberi solusi pembelajaran yang dinilai efektif dengan kuliah daring, tapi memiliki dampak laten, dalam sudut pandang pendidikan Islam, cukup serius implikasinya. (Semoga tidak ada aral, penulis memiliki proyek penelitian tentang isu ini di tahun 2020).

Pandemi Covid-19, jika hadir bagai malam, ada siang yang menjemputnya, ada makna kegelapan sebagai perjumpaan dan diakhiri mahkota cahaya sebagai pelipurnya. Semakin lama gelap nan gulita, akan semakin dekat terang dan benderang. Di dalam kesulitan tersirat kemudahan (QS. Al-Insyirah: 5-6).

Covid-19 menggugah banyak pihak, percikan nurani menuai keinsyafan, kecerdasan bathin membuka tabir, bahwa kita adalah makhluk nisbi. Lonceng kebebalan selalu menggema dalam semesta.

*****

Wallahu A’lam bi Ash-Shawab.

Terima kasih. (*)

Pages: 1 2 3

Berawal dari Belajar, Berakhir dengan Amal (@hayanaaa)

Leave a Reply

Your email address will not be published.