
Teologi Pandemi COVID-19: Tinjauan Pendidikan Profetik Ramadan
[page 2]
Covid-19 ‘memaksa’ manusia menengadah ke langit, berharap ‘hidayah’ untuk mencari solusi atas tragedi semesta. Di kala nalar telah terkatup oleh kegamangan pandemi, tiada tempat pelarian akhir yang paling mengagumkan kecuali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Kegelisahan dan kecemasan merambah ke seluruh relung emosional setiap orang, berharap mencari ketenangan, dengan kelegaan hati yang tercerahkan, walau tetap di rumah. Menghadirkan Tuhan di tengah pandemi menjadi jalan terbaik karena semua ikhtiar yang dilakukan diiringi oleh curahan hati kepada-Nya melalui do’a.
Do’a-do’a pencari keberkatan telah menyusuri ‘kanal-kanal’ langit di setiap saat, mengharap ada arus solusi alternatif dan berhentinya pandemi Covid-19. Kecemasan itu bukan saja dari pandemi Covid-19, tetapi implikasinya pada aspek ekonomi sangat besar. Masyarakat tidak lagi bekerja, dengan bermodalkan sisa tabungan (jika ada), telah merongrong “kebulan” asap dapur, menjadi perisai kedua atas pandemi tersebut. Doa-doa selanjutnya yang ‘menyerbu’ pintu-pintu langit adalah ekspektasi ekonomi yang dapat terpenuhi di tengah kepungan pandemi Covid-19.
Manusia merasa lebih nyaman dengan keakraban diri kepada Allah Swt., karena semua ini adalah skenario-Nya untuk mengembalikan manusia ke kodrat yang esensialnya. Jika manusia dalam genggaman hidayah-Nya, maka yang kurang mengharap iba dan yang berlebih menjadi memberi. Covid-19 memiliki sudut pandang teologi kemanusiaan yang menggugat egoisme dan arogansi menuju kerendahan hati dan kemuliaan jati diri.
Pendidikan Profetik Ramadan di Tengah Pandemi Covid-19
Pendidikan ramadan dinilai sangat efektif dan penuh berkah, jika yang bersangkutan punya tekad dan tulus. Ramadan memberikan “aturan main” yang apik, humanis, fleksibel, dan sarat akan pesan profetik, sehingga orang yang mengikuti pendidikan di dalamnya akan mengalami transformasi batin yang merefleksikan ke dalam pikiran, tindakan, dan emosionalnya.
Daya tarik Ramadan begitu memesona bagi umat Islam, disambut dengan meriah, dilakoni dengan khusyu’, dan diantar pergi dengan tangisan. Gebyar Ramadan selalu ramai dalam kemasan dakwah dan nada, tadarrus dan beduk, ta’jil dan tarawih, sahur dan subuh, tilawah dan I’tiqaf, mudik dan takbiran, ziarah dan halal bi halal. Bulir cinta ramadan memantik jiwa orang mukmin untuk merayakannya dengan penuh khidmat dan takzim.
Ramadan yang sarat dengan ritual dan pahala yang melimpah, menggerakkan hati umat Islam lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Puasa di siang hari dan qiyamul lail pada malamnya bagian rutinitas yang sangat mengesankan selama satu bulan penuh. Rasa lelah dan letih mengindahkan oleh ekspektasi muslim untuk meraih maghfirah dan inayah-Nya selama ramadhan.
Ramadan ibarat ‘pasar murah’ yang melimpah disiapkan Allah Swt., bagi muslim yang ingin ‘berbelanja’ amal salih. Modal utama yang disiapkan dalam belanja di pasar murah adalah Iman (tauhid) yang kokoh dan teguh. Iman sebagai mainstream segala ritual agama yang dapat memberikan keberkahan yang melimpah dalam konteks sosial (Lihat Mannan, 2018). Iman yang mengakar dalam jiwa, tidak akan tergoyahkan oleh hasutan dan provokasi apapun yang dapat meredupkan cahaya puasa di Bulan Ramadan.
Ramadan tahun ini dilanda sebuah tragedi kemanusiaan, yakni adanya pandemi Covid-19 yang sangat mencekam dan bagai ‘mesin pembunuh’ di era digital. Pandemi Covid-19 ‘memaksa’ orang berpuasa tidak boleh berkumpul membeli ta’jil, apalagi ngabuburit di tempat umum, tidak diperbolehkan salat berjamaah, salat jumat, dan salat tarawih di masjid (Lihat Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020). Masjid tadinya ramai menjelang buka puasa, lalu masuk salat maghrib, tadarrusan, salat Isya, ceramah, kemudian Tarawih, lalu kembali tadarrus bersama, hingga tengah malam. Semua itu kini sudah tinggal kenangan, luar biasa sepi, tiada tanda-tanda lagi ramadan tiba dan dilakoni, semua tampak jadi “sirna”.
Pandemi Covid-19 mendorong umat Islam meninjau kembali bulan ramadan dalam konteks yang berbeda. Ramadan konteks kekinian dan kedisinian menjadi perdebatan ‘sengit’ di kalangan muslim, tampak ada pergeseran mendasar mengenai ramadan, pandangan baru, tatanan baru, tradisi baru, aktivitas baru, dan seterusnya. Namun demikian, pandemi Covid-19 justru melegitimasi spiritualitas ramadan sebagai benteng kehidupan dari pandemi yang mematikan. Berikut relasi Ramadhan dan teologi Covid-19 secara kontekstual, di antaranya adalah:
- Ramadan mendorong orang yang berpuasa agar rajin tadarrus dan tadabbur Alquran sebagai media memperkaya khazanah kearifan (QS. Shad: 29). Alquran dapat memperkuat iman, melapangan jiwa, dan menyehatkan hati. Bukankah Covid-19 menghantarkan kita kepada pencarian rahasia kehidupan yang lebih bermakna, bernilai, dan esensial. Covid-19 ini meruntuhkan sikap arogansi dengan kemampuan yang ada, ternyata ‘tersungkur’ dan terkoyak oleh arus pandemi Covid-19. Momentum Ramadan dan pandemi Covid-19, mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai makhluk yang nisbi, penuh keterbatasan, dan mengendalikan dari sikap kecenderungan melakukan sesuatu yang melampaui batas (offside).
- Ramadan mengajarkan dengan berpuasa maka kepedulian terhadap sesama semakin meningkat, orang berpuasa merasakan derita jika lapar, seperti yang dialami oleh orang belum beruntung. Berpuasa membangun solidaritas sosial, mereduksi sikap egoism, mencegah dominasi individualism, dan menghindarkan diri dari sifat الشُّحَّ (kikir) (H.R.Muslim (4/1996, no. 56/2578)). Pademi Covid-19 mendorong kepedulian dan saling menjaga keselamatan satu sama lain. Pemerintah melarang mudik untuk menyayangi keluarga dan handai tolan, melakukan social distancing sebagai bentuk peduli kepada orang lain untuk memutus rantai pandemi, sikap stay at home sebagai tindakan mengapresiasi kerja keras pahlawan kemanusiaan, yakni dokter dan petugas kesehatan.
- Ramadan mengajak mukmin lebih banyak berinfak, bersedekah, berbagi kepada yang belum beruntung (fakir miskin), dan mengeluarkan zakat fitrah. Memberi makan bagi orang yang berpuasa, pahalanya baginya seperti orang yang berpuasa tersebut (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192). Covid-19 ‘memaksa’ manusia untuk stay at home dan physical distancing, terpaksa kehilangan pekerjaan dan hanya menunggu belas kasih dari dermawan dan pemerintah. Jika tidak ada makanan, terpaksa mereka keluar rumah untuk mencari ‘sesuap’ nasi agar bisa bertahan hidup. Keluarnya dari rumah justru menjadi mata rantai pandemi Covid-19 kepada masyarakat. Momentum Ramadan dan pandemi Covid-19 membangun solidaritas sosial untuk saling berbagi demi eksistensi kehidupan bersama.
- Ramadan mendorong orang yang berpuasa agar lebih banyak salat sunnat, terutama di malam hari (tarawih dan witir) agar terbuka pintu hidayah dan maghfirah dari Allah Swt., atas kekhilafan di masa lalu. Hadis Nabi: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (Shahih Muslim (I/523 No. 759 (174) dan Shahih al-Bukhari (Fath hul Bari), IV/250 No. 2009). Muh. Kawasneh, peneliti Binghamton University, bahwa “Doa dan ibadah dapat menghilangkan stres fisik dan kecemasan” (Republika.co.id., Selasa, 07 Maret 2017). Covid-19 mendorong masyarakat agar lebih menjaga imunitas tubuh, hindari perasaan panik dan cemas, selalu bersikap enjoy dan relaksasi, tetapi tetap waspada atas pandemi Covid-19. Melalui ramadan dengan ibadah salat yang masif, diduga kuat dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
- Ramadan mengingatkan bahwa puasa menjadikan orang lebih sehat secara medis dan metabolisme tubuh menjadi lancar. Berpuasa membuat saluran pencernaan istirahat 14 jam dan menjadi lebih bersih, mendorong penguatan fungsi enzim dan hormon yang terkait, guna mendukung upaya menjaga metabolisme tubuh tetap pada kondisi terbaiknya (Hartono, 2020). Covid-19 mendorong masyarakat agar menjaga imun tubuh yang kuat, dengan nutrisi makanan bergizi, istirahat yang cukup, pola hidup sehat, hindari stress, stop alkohol, dan seterusnya. Daya tahan tubuh yang prima, dapat bertahan lebih kuat di tengah Pandemi Covid-19 dibandingkan dengan yang lemah daya tahan tubuhnya.
- Ramadan memberi nasihat kepada orang yang berpuasa, bahwa janganlah memaksakan diri untuk bekerja, beraktivitas, meraih mimpi, mengejar ambisi keduniaan akan menjauhkannya dari surga (QS. An-Naziat/79: 37-41), karena manusia punya batasan, dan Allah hanya memberikan apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Manusia berusaha dan Allah yang menentukan, manusia bisa berikhtiar dan Allah menetapkannya dalam kehendak-Nya (QS. At-Takwir: 29). Covid-19 memberi inspirasi kepada masyarakat bahwa hidup ada kalanya roda berputar kencang, pelan-pelan, berhenti, bahkan mundur. Pandemi ini memaksa masyarakat untuk pelan-pelan memutar roda kehidupan, bahkan ada yang berhenti dan mundur ke belakang. Ramadhan mengingatkan bahwa menghadapi pandemi Covid-19 tidak perlu cemas dalam menghadapi hidup dan kehidupan, karena semua sudah tercatat dalam “Buku Besar” Allah Swt.
- Ramadan mengingatkan bahwa puasa adalah ibadah sirriyah, yakni ibadah rahasia yang hanya tahu adalah orang berpuasa dan Allah Swt., sehingga diperlukan kejujuran. Jujur dimaknai niat karena Allah, sikap disiplin terhadap regulasi puasa, berjuang dengan durasi waktu yang ditentukan, dan mengorbankan segalanya yang bisa membatalkan ibadah puasa (Sholehuddin, 2020). Covid-19 mendorong masyarakat untuk bersikap jujur untuk menjaga ketenangan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Melaporkan diri kepada petugas kesehatan jika mengalami gejala Covid-19, disiplin menjalani PSBB, sabar dalam stay at home, dan berjuang menaati physical distancing. Jika membagi bantuan kemanusiaan, dibutuhkan kejujuran sehingga tersalurkan kepada orang yang tepat dan sesuai dengan nominal yang sebenarnya.
- Ramadan melatih mukmin tentang ketulusan, kesabaran, ketabahan, tawakkal, dan berharap ridha dari Allah Swt. Nabi bersabda: كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به(HR. Bukhari: 7/226). Kesadaran dan kepatuhan kepada Allah melalui Puasa, maka Allah yang langsung memberikan apresiasi dan ganjaran pahala kepada hamba-Nya. Covid-19 mengajarkan pada masyarakat agar tulus menghadapi realitas, bersabar dan tabah terhadap pandemi, patuh terhadap maklumat pemerintah, medis, dan ulama. Kepatuhan terhadap maklumat, maka pemerintah memberikan bantuan langsung kemanusiaan, berupa kebutuhan pokok dan kenyamanan dalam kehidupan sosial.
Universitas ramadan memiliki relasi positif terhadap peredaman pandemi Covid-19. Semakin tulus dan totalitas mengikuti pendidikan ramadan, semakin tidak terasa ramadan akan berakhir. Begitu juga Covid-19, semakin tulus dan patuh mengikuti maklumat pemerintah dan fatwa MUI terkait pandemi Covid-19, maka semakin cepat merdeka dan terbebas dari rantai penyebaran pandemi Covid-19 tersebut.
Ramadan bagian dari ujian umat Islam.. [next page 3]